Paus Fransiskus
Informasi

Paus Fransiskus Meninggal Dunia: Refleksi Pribadi Sempurna

Paus Fransiskus, aku masih ingat pagi itu, saat notifikasi dari Twitter muncul di layar. “BREAKING: Pope Francis dies at 88.” Seketika tanganku gemetar. Rasanya seperti kehilangan kakek sendiri. Walaupun aku bukan Katolik yang taat, sosok Paus Fransiskus punya tempat khusus di hati.

Dia bukan hanya pemimpin spiritual. Dia seperti cahaya kecil di dunia yang sering kali gelap dan bising. Paus yang nggak segan bicara soal kemiskinan, lingkungan, bahkan hal-hal kontroversial seperti LGBTQ dan imigrasi. Jujur, dulu aku pikir semua pemimpin agama itu konservatif dan cenderung kaku. Tapi dia? Nggak. Dia beda.

Ketika Kabar Itu Datang: “Pope Francis Telah Meninggal”

Paus Fransiskus

Pertama Kali Aku Mendengar Namanya

Waktu itu tahun 2013. Jorge Mario Bergoglio dari Argentina dipilih jadi Paus, dan aku ingat reaksi dunia begitu… penuh harapan. Banyak orang kaget karena dia bukan bagian dari “elite Vatikan” yang biasanya naik tahta. Tapi justru itu yang membuatku mulai baca tentang dia.

Dia naik bus, tinggal di apartemen sederhana, dan nggak suka dikawal berlebihan. Bahkan katanya, waktu jadi Uskup Agung Buenos Aires, dia sering masak sendiri dan naik kendaraan umum. Gila, kan? Seorang calon Paus, hidup sesederhana itu?

Aku langsung terinspirasi. Waktu itu, aku juga lagi frustrasi dengan gaya hidup materialistis — kerja buat uang, beli barang-barang yang nggak benar-benar aku butuhkan. Tapi membaca kisah dia… kayak ditampar.

Keteladanan yang Mengubah Cara Pandangku

Satu kutipan dari Paus Fransiskus yang selalu aku ingat:

“The world tells us to seek success, power and money; God tells us to seek humility, service and love.”

Dari situlah aku mulai coba mengubah cara pandang. Nggak langsung berubah 180 derajat sih (nggak munafik ya), tapi setidaknya mulai belajar memaknai “cukup” dan “berbagi”.

Bahkan aku pernah bikin tantangan pribadi: satu bulan tanpa belanja barang non-esensial. Hasilnya? Tabungan nambah, dan yang lebih penting… hatiku lebih damai. Aneh, ya? Tapi nyata.

Keberanian Paus dalam Dunia yang Penuh Tensi

Paus Fransiskus

Salah satu hal yang bikin aku paling hormat: keberanian beliau dalam menyuarakan hal-hal sulit.

Misalnya saat dia bicara soal perubahan iklim. Banyak yang bilang, “Ngapain Paus ngurusin itu?” Tapi dia nggak mundur. Dia justru rilis ensiklik Laudato Si’ — yang jadi semacam “surat cinta” buat bumi ini.

Di tengah dunia politik yang penuh kepentingan, beliau tetap berdiri tegak. Bayangkan, seorang pemimpin agama besar dengan suara moral yang nyaring, berbicara mewakili mereka yang tak terdengar.

Buatku, itu bukan hal kecil. Aku pernah jadi aktivis lingkungan di kampus, dan sering ngerasa nggak didengar. Tapi ketika sosok seperti Paus Fransiskus menyuarakan hal yang sama? Rasanya seperti ada harapan lagi, dikutip dari laman resmi Detik.

Saat Doa Menjadi Pelarian

Ada satu masa dalam hidupku — tahun 2020 pas pandemi — yang benar-benar bikin aku goyah. Banyak kehilangan: pekerjaan, orang terdekat, bahkan arah hidup.

Aku ingat suatu malam, nonton siaran langsung Paus Fransiskus dari Vatikan. Lapangan kosong, hujan turun, dan beliau berdiri sendiri, mendoakan dunia. Suaranya pelan, tapi penuh keteguhan.

Malam itu aku menangis. Bukan karena sedih semata, tapi karena merasa ditemani dalam kesendirian. Bukan cuma secara spiritual, tapi secara emosional.

Wafatnya yang Meninggalkan Jejak

Paus Fransiskus

Saat kabar wafatnya muncul, ada keheningan aneh dalam diriku. Seperti saat seseorang yang nggak pernah kamu temui, tapi kamu rasakan kehadirannya setiap hari… tiba-tiba pergi.

Banyak orang bilang, pemimpin datang dan pergi. Tapi Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin. Dia guru, pelayan, dan mungkin satu-satunya tokoh agama yang bisa menyatukan sisi kiri dan kanan secara spiritual dan sosial.

Dunia kehilangan cahaya. Tapi juga, dunia diwarisi semangat besar — semangat kepedulian, kesederhanaan, dan kasih universal.

Pelajaran Terbesar yang Aku Simpan

Kalau ada satu hal yang bisa aku petik dari beliau, itu adalah bahwa keberanian sejati adalah tetap lembut dalam dunia yang keras.

Aku mulai belajar nggak harus jadi orang besar untuk memberi dampak. Kadang, senyum kecil, memberi waktu buat teman yang lagi down, atau menyumbang diam-diam tanpa berharap pamrih — itu semua sudah jadi bentuk pelayanan.

Dan setiap kali aku merasa kecil, aku ingat Paus Fransiskus. Yang tetap rendah hati meskipun seluruh dunia memanggilnya “Yang Mulia”.

Penutup: Warisan dalam Hati Kita

Mungkin kita nggak bisa menggantikan Paus Fransiskus. Tapi kita bisa melanjutkan semangatnya. Dalam tindakan kecil, dalam keputusan sehari-hari, dalam cara kita memandang dunia.

Selamat jalan, Paus Fransiskus. Terima kasih sudah jadi cahaya di tengah kegelapan. Terima kasih sudah jadi contoh yang nyata bahwa spiritualitas bukan hanya soal ritual, tapi soal kemanusiaan.

Baca Juga Artikel dari: Keamanan Global dan Momen Dunia Ini Gak Pernah Aman

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi

Author